Namanya Ryo Ono seorang komikus Jepang yang mulai belakangan mulai belajar animasi, Selama lebih dari satu dekade, tubuh Ono tersedot di dunia produksi drama TV dan film di Tokyo. Malangnya, Tokyo tak ramah kepada direktur kreatif itu atau sang empunya ide. Pikiran dan energinya 10 tahun lalu hanya dihargai gaji Rp 8,5 juta per bulan. Studio dan stasiun TV kelewat pelit.
Ia tak mau menyerah kalah. Ono, 37 tahun, pindah ke Prefektur Shimane, wilayah kecil di luar Tokyo. Di Shimane, dia sedikit bisa bernapas. Ongkos hidup tak mencekik seperti di Tokyo. Dia mulai membikin animasi menggunakan sebuah komputer biasa dengan program yang murah, yakni Flash.
Kegigihannya itu menjelma di sebuah kamar. Cuma seukuran kamar kos mahasiswa biasa-biasa. Tapi itu tak terlalu sempit buat meniupkan imajinasi.
Setiap pagi, Ono menggambar, menulis skenario, bahkan, dengan alat sederhana, mengisi suara sendiri film animasi pertamanya. Dia menerbitkan animasi pertamanya, Sugai-kun dan Kzoku-ishi, di situs pribadinya pada 2004. Film kartunnya itu berkisah soal keluarga kulit hitam yang tinggal di Shimane. Dia melukiskan sentilan-sentilan lucu di keluarga itu.
Kegigihan ternyata menemukan jalannya sendiri. Beberapa bulan kemudian, situsnya populer dan menarik 50 ribu halaman kunjungan (page view) per hari. Dia lalu coba-coba menjual DVD karyanya sendiri itu dan terjual 5.600 keping serta mendatangkan uang Rp 960 juta (11.200.000 yen). “Akhirnya saya punya penghasilan,” kata Ono. Sejak itu namanya meroket dan studio-studio besar meliriknya. Bahkan Toshiba juga menjadikan kartunnya sebagai ikon produk mereka.
Animasi Flash bikinan Ono tak seindah buatan para animator Jepang terdahulu. “Kuncinya ada pada kecepatan produksi. Itu akan membikin murah biaya,” katanya. Animator Jepang lainnya butuh berminggu-minggu untuk membuat animasi sepanjang 30 menit. Ono tidak. Dia hanya butuh beberapa hari.
Animator-animator ala Ono inilah yang kini mendominasi film-film kartun dunia. Bahkan mereka juga menjajah Hollywood. Apa yang mereka punya tapi tak dipunyai animator Indonesia? Rasanya tak ada. Modalnya cuma ide, kepandaian menggambar, dan software Flash, yang harganya cuma beberapa dolar–bukan jutaan rupiah.
Animator Indonesia mestinya bisa meniti sukses seperti Ono. Toh, dari dulu kita punya bibit hebat. Masih ingat film kartun Si Huma, yang diputar di TVRI pada 1980-an? Kalau dibandingkan dengan film kartun Naruto, Si Huma mungkin tak terlalu ketinggalan. Animator Indonesia mestinya belajar dari Ono dan juga dari India. Tahun lalu, bioskop-bioskop di India tak cuma dihiasi film yang cuma menari dan berjoget. Ada beberapa film animasi bikinan India sendiri yang menyodok ke layar perak, seperti Roadside Romeo, Ghatothkach, Dashavatar, dan My Friend Ganesha 2.
Sementara di negeri ini para produser masih sibuk bikin film sekitar kuburan atau komedi-cinta, yang merupakan reinkarnasi dari film masa Dono-Kasino-Indro, Malaysia sudah melangkah jauh dengan Ipin dan Upin, India telah membuat 85 film animasi. Dan mereka percaya, pasar film animasi ini tak cuma anak-anak, tapi juga seluruh segmen. Dari film animasi itu mereka mengeruk uang US$ 460 juta (sekitar Rp 4,6 miliar)
Seperti Ono, para animator India ini bisa memproduksi film lebih murah ketimbang Hollywood. Sementara film seperti Finding Nemo menelan biaya US$ 60-80 juta (Rp 600-800 miliar), biaya film animasi India cuma US$ 2-2,5 juta (Rp 20-25 miliar). Mereka sukses dengan ongkos segitu. Indonesia, bagaimana ? ...
Ia tak mau menyerah kalah. Ono, 37 tahun, pindah ke Prefektur Shimane, wilayah kecil di luar Tokyo. Di Shimane, dia sedikit bisa bernapas. Ongkos hidup tak mencekik seperti di Tokyo. Dia mulai membikin animasi menggunakan sebuah komputer biasa dengan program yang murah, yakni Flash.
Kegigihannya itu menjelma di sebuah kamar. Cuma seukuran kamar kos mahasiswa biasa-biasa. Tapi itu tak terlalu sempit buat meniupkan imajinasi.
Setiap pagi, Ono menggambar, menulis skenario, bahkan, dengan alat sederhana, mengisi suara sendiri film animasi pertamanya. Dia menerbitkan animasi pertamanya, Sugai-kun dan Kzoku-ishi, di situs pribadinya pada 2004. Film kartunnya itu berkisah soal keluarga kulit hitam yang tinggal di Shimane. Dia melukiskan sentilan-sentilan lucu di keluarga itu.
Kegigihan ternyata menemukan jalannya sendiri. Beberapa bulan kemudian, situsnya populer dan menarik 50 ribu halaman kunjungan (page view) per hari. Dia lalu coba-coba menjual DVD karyanya sendiri itu dan terjual 5.600 keping serta mendatangkan uang Rp 960 juta (11.200.000 yen). “Akhirnya saya punya penghasilan,” kata Ono. Sejak itu namanya meroket dan studio-studio besar meliriknya. Bahkan Toshiba juga menjadikan kartunnya sebagai ikon produk mereka.
Animasi Flash bikinan Ono tak seindah buatan para animator Jepang terdahulu. “Kuncinya ada pada kecepatan produksi. Itu akan membikin murah biaya,” katanya. Animator Jepang lainnya butuh berminggu-minggu untuk membuat animasi sepanjang 30 menit. Ono tidak. Dia hanya butuh beberapa hari.
Animator-animator ala Ono inilah yang kini mendominasi film-film kartun dunia. Bahkan mereka juga menjajah Hollywood. Apa yang mereka punya tapi tak dipunyai animator Indonesia? Rasanya tak ada. Modalnya cuma ide, kepandaian menggambar, dan software Flash, yang harganya cuma beberapa dolar–bukan jutaan rupiah.
Animator Indonesia mestinya bisa meniti sukses seperti Ono. Toh, dari dulu kita punya bibit hebat. Masih ingat film kartun Si Huma, yang diputar di TVRI pada 1980-an? Kalau dibandingkan dengan film kartun Naruto, Si Huma mungkin tak terlalu ketinggalan. Animator Indonesia mestinya belajar dari Ono dan juga dari India. Tahun lalu, bioskop-bioskop di India tak cuma dihiasi film yang cuma menari dan berjoget. Ada beberapa film animasi bikinan India sendiri yang menyodok ke layar perak, seperti Roadside Romeo, Ghatothkach, Dashavatar, dan My Friend Ganesha 2.
Sementara di negeri ini para produser masih sibuk bikin film sekitar kuburan atau komedi-cinta, yang merupakan reinkarnasi dari film masa Dono-Kasino-Indro, Malaysia sudah melangkah jauh dengan Ipin dan Upin, India telah membuat 85 film animasi. Dan mereka percaya, pasar film animasi ini tak cuma anak-anak, tapi juga seluruh segmen. Dari film animasi itu mereka mengeruk uang US$ 460 juta (sekitar Rp 4,6 miliar)
Seperti Ono, para animator India ini bisa memproduksi film lebih murah ketimbang Hollywood. Sementara film seperti Finding Nemo menelan biaya US$ 60-80 juta (Rp 600-800 miliar), biaya film animasi India cuma US$ 2-2,5 juta (Rp 20-25 miliar). Mereka sukses dengan ongkos segitu. Indonesia, bagaimana ? ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar